Kamis, 29 Oktober 2009

KERJA SOSIAL DI DAERAH TERPENCIL SEBAGAI BENTUK

1.PENDAHULUAN

Bila kita menyimak Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana Negara dalam hal ini pemerintah harus mampu menjamin kesejahteraan umum, artinya pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum. Pemerintah harus dapat memberikan layanan kesehatan yang baik bagi segenap warga Negara Indonesia tanpa melihat latar belakang social, etnis,suku, dll seperti yang telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut.
Indonesia sebagai Negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk yang lebih dari 230. juta jiwa sudah pasti membutuhkan pelayanan medis yang dapat menjangkau dan mencakup seluruh penduduk sampai ke wilayah pelosok nusantara. Namun pada kenyataanya pelayanan medis kedokteran baik dokter umum/spesialis maupun dokter gigi belum mampu dirasakan secara merata oleh sebagian besar warga negara indonesia, dimana ironisnya sebagian penduduk yang mempunyai latar belakang ekonomi menengah keatas dan berdomisili di kota-kota besar dapat menikmati fasilitas kesehatan dengan baik, sedangkan bagi penduduk yang berlatar belakang dari ekonomi kurang mampu dan berdomisili di daerah pelosok/ pedalaman kurang mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Sudah bukan rahasia lagi, pelayanan kesehatan di Republik ini sudah menuju kearah komersil, yaitu bagi warga negara yang mampu secara ekonomi dapat menikmati layanan medis yang cukup baik dengan peralatan dan teknologi kedokteran di rumah sakit maupun dokter spesialis dengan harga yang relative cukup tinggi, hal tersebut bertolak belakang dengan warga Negara yang kurang mampu secara ekonomi, mereka harus “cukup puas” dengan layanan medis ala kadarnya dari instansi pemerintah (puskesmas, dll). Bahkan lebih ironisnya lagi bagi warga Negara yang berdomisili di daerah terpencil, sangatlah sulit dalam mendapatkan layanan medis dengan baik. Sehingga bagi para penduduk yang berdomisili di wilayah yang sulit terjangkau / terpencil hampir dapat dikatakan mustahil untuk mendapatkan pelayanan medis yang baik dari dokter-dokter profesional / spesialis dengan peralatan yang memadai.
Memang, dengan kondisi wilayah geografis Negara ini yang cukup luas dan terdiri dari ribuan pulau, ditambah dengan dukungan sarana transportasi yang ”pas-pasan”, pemerataan pelayanan medis bagi segenap warga negara yang mencakup seluruh wilayah indonesia bisa dikatakan hanyalah sebuah mimpi disiang hari. Hal tersebut diperparah dengan kondisi mentalitas ”memble” para dokter ”muda” lulusan berbagai perguruan tinggi Negri maupun swasta yang sangat enggan bila ditugaskan ke daerah pelosok guna memberikan pelayanan medis bagi para penduduk di daerah terpencil.
Bila melihat dari gambaran diatas, harapan guna mewujudkan amanat sebagaimana tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yaitu menjamin kesejahteraan umum yang salah satu unsur didalamnya adalah pemerataan pelayanan medis bagi segenap warga negara Indonesia adalah suatu hal yang sulit diwujudkan. Sehingga diperlukan suatu kebijakan baru dari pemerintah untuk membuat suatu terobosan guna paling tidak memperbaiki keadaan sebagaimana telah digambarkan diatas.
Salah satu bentuk kebijakan pemerintah adalah kebijakan kriminal (Criminal Policy), dimana bila dikaitkan dengan undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, masih dapat digali melalui analisis untuk memperbaiki isi kebijakan dalam hal ini terkait sanksi pidana yang tercantum. dalam bab X Undang-undang tersebut .

2.SANKSI PIDANA DALAM UU NO.29/2004

Sanksi pidana dalam undang-undang nomor 29. tahun 2004 tentang praktik kedokteran tercantum dalam Bab X pasal 75 sampai dengan pasal 80, sebagai mana berikut ini:

Bab X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).

(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).




Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).


Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000, 00 (seratus lima puluh juta rupiah).


Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000, 00 (seratus lima puluh juta rupiah).


Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000, 00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46ayat (1); atau

c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.


Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus jutarupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Dalam sanksi pidana Undang-undang tersebut, belum ada ketentuan yang menyatakan tentang hukuman pidana berupa kerja sosial bagi para dokter/ dokter gigi guna dipekerjakan secara sosial di daerah terpencil dengan ketentuan lamanya kerja sosial tersebut disesuaikan kemudian dengan masa penahanannya. Sehingga hal tersebutlah yang menarik bagi penulis untuk mencoba melakukan analisis kebijakan kriminal dengan pendekatan guna memperbaiki isi kebijakan (Sanksi Pidana dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004) agar dapat lebih dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

3.KEBIJAKAN KRIMINAL UU NO.29/2004

Seperti telah dijabarkan oleh penulis pada bagian terdahulu tentang ketentuan sanksi Pidana dalam Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dimana tidak ada satu pasal pun yang mencantumkan Sanksi berupa pidana berupa kerja sosial bagi para dokter/dokter gigi yang terbukti melakukan delik pidana. Dimana menurut analisa penulis, hal tersebut dirasa kurang tepat karena tidak dapat memanfaatkan keahlian para dokter/dokter gigi untuk kepentingan negara, Sehingga penulis melakukan analisis melalui pendekatan untuk memperbaiki isi kebijakan (Sanksi Pidana dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004) yaitu sebagai berikut:
a. Merubah sanksi Pidana yang ancaman hukuman maksimal 5 (lima tahun) dengan memperkerjakan para dokter / dokter gigi tersebut (kerja sosial/ tidak diberikan gaji) di wilayah-wilayah kepulauan / pedalaman dengan mempertimbangkan masa kerja sosial disesuaikan dengan sanksi yang dijatuhkan.
b. Merubah sanksi Pidana yang ancaman hukuman maksimal 1 (Satu tahun) dengan memperkerjakan para dokter / dokter gigi tersebut (kerja sosial/ tidak diberikan gaji) di rumah sakit pemerintah/ puskesmas yang kekurangan tenaga medis.(rumah sakit/ puskesmas didaerah-daerah luar pulau jawa dan Bali)
c. Seluruh akomodasi dan trasportasi selama melaksanakan kerja sosial tersebut di tanggung sepenuhnya oleh negara.
d. Guna pengawasan selama masa pelaksanaan kerja sosial tersebut dilaksanakan oleh aparat penegak hukum setempat dibantu dengan dinas kesehatan setempat .
Analisis Kebijakan kriminal melalui pendekatan untuk memperbaiki isi kebijakan atas Sanksi Pidana dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004 tersebut atas pertimbangan bahwa;
a. Sanksi pidana penjara bagi dokter/ dokter gigi yang melakukan delik pidana sesuai yang diatur dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004 tersebut dianggap tidak dapat terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap meksud pelaksanaan sanksi pidana penjara tersebut.
b. Agar keahlian yang dimiliki oleh para dokter/dokter gigi tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal guna pemerataan pelayanan kesehatan kepada segenap warga negara indonesia.
Dengan adanya analisis tersebut diatas diharapkan dapat dijadikan suatu masukan dalam menentukan suatu kebijakan pemerintah khususnya kebijakan kriminal terhadap Sanksi Pidana dalam Undang-undang No.29 Tahun 2004, yang mana pada akhirnya diharapkan akan mampu melahirkan kebijakan kriminal yang lebih fleksibel dan lebih dapat bermanfaat bagi segenap warga negara indonesia khususnya dalam hal pelayanan medis bagi penduduk yang berdomisili di daerah-daerah terpencil/ kepulauan ataupun bagi penduduk dengan latar belakang ekonomi kurang mampu.

4. PENUTUP
Demikianlah penulisan tentang penugasan mata kuliah kebijakan kriminal, yang mengambil judul ” KERJA SOSIAL DI DAERAH TERPENCIL SEBAGAI BENTUK KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN”. dimana penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penulisan ini ,semoga tulisan ini dapat diterima dan selanjutnya dikoreksi guna memberikan masukan bagi penulis untuk penyempurnaan penulisan ini.

Selasa, 27 Oktober 2009

Perkembangan HAM di Indonesia

Pendahuluan

Kalau kita menelusuri sejarah perkembangan pemajuan HAM temyata setiap lahimya suatu konvensi biasanya dilatarbelakangi oleh suatu pristiwa penting yang mendorong timbulnya kesadaran intemasional untuk menggalang kekuatan mengatasi masalah itu. Mengentalnya kesadaran masyarakat intemasional tentang diskriminasi rasial misalnya bermula dari sejak ditetapkannya 21 Maret sebagai Hari Intemasional Diskriminasi Rasial pada tahun 1966. Kesadaran ko1ektif itu di1atarbelakangi oleh peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh polisi Afrika Selatan terhadap para peserta pawai damai yang dilakukan oleh kelompok anti apartheid di Sharpeville. Pada tragedi tersebut terdapat 69 orang meninggal seketika dari kebrutalan para polisi kulit putih.
Peristiwa di Sharpeville itu sesungguhnya hanyalah percikan kecil dari akibat pemberlakuan sistem apartheid (pemisahan) oleh pemerintahan minoritas kulit putih di Afrika Selatan; Masyarakat kulit putih yang berjumlah sekitar empat juta (kurang dari 10% dari jumlah penduduk) telah menikmati berbagai keistimewaan negara karena menguasai seluruh sistem pemerintahan. Sebaliknya sistem apartheid itu amat menyengsarakan sekitar 20 juta penduduk etnis Afrika (50% jumlah penduduk) karena mereka secara sistematis disisihkan, dipisahkan dari serikat perdagangan, dan anak-anak mereka sangat dibatasi untuk masuk ke sekolah pemerintah.
Demikian pula konsep HAM sesungguhnya adalah konsep yang sudah berkembang berabad-abad dan masih terus berkembang. Dalam literature Barat sering disebut-sebut adanya tiga generasi HAM. Generasi pertama, adalah hak sipil dan politik, generasi kedua adalah hak ekonomi, sosial, budaya, dan generasi ketiga adalah hak pembangunan. Hal ini didasarkan pada perjuangan HAM yang dimulai di Barat.
Sebenarnya apabila ditelaah lebih jauh, sebelum Barat memperjuangkan HAM, agama-agama besar di dunia telah menyerukan penghormatan dan penegakan HAM. Bukankah ajaran agama yang tercantum dalam kitab-kitab suci penuh dengan ajaran kemanusiaan dan keadilan? .Dalam perjalanan sejarah, agama sering disalahgunakan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan cara menekankan kewajiban-kewajiban kepada rakyat agar tetap tunduk dan patuh.
Penyalahgunaan agama oleh penguasa di Eropa telah menimbulkan reaksi yang keras dari rakyat. Ini bermula dari Magna Charta (tahun 1215) yang merupakan keberhasilan perlawanan rakyat Inggris memaksa Rajanya melepaskan sebagian kekuasaannya dengan membentuk semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini kemudian ditegaskan lagi dengan Bill of Rights (tahun 1689) yang memberikan hak kebebasan berbicara. Ini kemudian menjalar ke Amerika yang juga mencanangkan Bill of Rights (tahun 1776) yang intinya memuat pengakuan akan hak hidup dan kebebasan, hak milik, hak kebahagiaan dan keamanan. Sejak itu di Amerika diwarnai pergulatan untuk memperjuangkan HAM, termasuk yang paling berat adalah menghapus perbudakan. Dalam perang dunia pertama dan kedua, Amerika tampil sebagai kampiun dunia bebas melawan fasisme. Pada tahun 1941 Presiden Amerika FD Roosevelt terkenal dengan pidatonya untuk terus memperjuangkan empat kebebasan (Four Freedoms) ke seluruh dunia, yaitu: Freedom of Speech, freedom of religion, freedom from want dan freedom from fear.
Setelah terbentuk PBB pengertian HAM dan cakupannya semakin meluas dan terinci sejalan dengan semakin banyaknya instrumen HAM internasional yang dihasilkan oleh Badan Dunia tersebut. Lingkup HAM tidak lagi hanya four freedoms sebagaimana disebut oleh Presiden FD Roosevelt, namun telah terinci menjadi ratusan bahkan ribuan 1 jumlahnya. Sebagai contoh Hak Anak saja misalnya telah memuat 31 hak.
Berkaitan dengan konsep/pengertian HAM yang terus berkembang adalah adanya debat yang berkepanjangan antara kelompok "Universalism" dan "Cultural relativism" mengenai apakah HAM itu bersifat universal atau dibatasi oleh perbedaan budaya. Negara-negara Barat umumnya menganut paham "Universalism", sedangkan negara- negara timur umumnya menganut faham "Cultural relativism". Apabila disepakati bahwa HAM adalah konsep yang berkembang, maka pada prinsipnya HAM itu bersifat universal, namun dalam perkembangannya (rinciannya) menjadi relatif karena adanya perbedaan budaya dan agama.

Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
Sejarah Internasional HAM
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris seperti yang telah penulis singgung pada bagian terdahulu. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

Sejarah dan Perkembangan HAM Nasional

Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?

Diundangkannya UU yang berkaitan dengan HAM

Kita bangsa Indonesia telah menetapkan pengertian (definisi) HAM sebagaimana dalam pasal 1 Undang-undang nomor 39/1999 sebagai berikut: "Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”

Pada tanggal 21 Mei tahun 1998 di Istana Negara Jakarta Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 (tiga puluh dua) tahun menyatakan berhenti sebagai Presiden. Segera setelah pernyataan berhenti itu Wakil Presiden B.J.Habibie dilantik sebagai Presiden menggantikan Soeharto. Mundurnya Soeharto dan naiknya B.J.Habibie sebagai Presiden membuka harapan bagi dijalankannya reformasi politik untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis dan perlindungan yang memadai terhadap hak asasi manusia (HAM). Inilah awal dimulainya langkah reformasi politik di mana pemerintah memberikan toleransi kepada rakyat untuk menikmati tiga kebebasan dasar (three fundamental) freedoms) yaitu, kebebasan berkumpul (freedom of assembly), kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan kebebasan berorganisasi (freedom to form an organization). Tiga kebebasan dasar tersebut merupakan dasar yang menentukan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Mustahil membangun demokrasi tanpa kehadiran tiga kebebasan dasar tersebut. Tanpa kehadiran tiga kebebasan dasar itu mustahil rakyat dapat mengaktualisasikan hak-hak politiknya.
Pada awal masa transisi ini rakyat bebas untuk berkumpul, misalnya, mengadakan konferensi, seminar, diskusi publik, dan rapat-rapat umum, dan lain sebagainya. Di masa Soeharto kegiatan yang mengundang kehadiran publik wajib meminta izin polisi. Tanpa ada izin polisi kegiatan tersebut pasti dibubarkan, bahkan dapat mengundang resiko berupa penahanan terhadap orang yang menyelenggarakan kegiatan berkumpul tersebut. Pemerintah memberikan pula toleransi kepada rakyat untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya, antara lain rakyat bebas untuk melakukan unjuk rasa, mengekspresikan apresiasi keseniannya dan lain sebagainya.
Sejalan dengan perkembangan itu pemerintah perlahan-lahan melonggarkan dan akhirnya menhapuskan sama sekali kontrol dan sensor terhadap surat kabar, majalah dan media elektronika. Pemerintah baru di bawah Presiden Habibie memberikan pula toleransi bagi kebebasan berorganisasi. Toleransi pemerintah ini memberikan keleluasaan bagi rakyat unutk mendirikan berbagai organisasi dan partai politik yang dipandang tepat dan mampu memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereka. Organisasi massa seperti, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen dan Partai Uni Demokrasi Indonesia yang semasa Orde baru diisolasi dan tidak diakui oleh pemerintah Soeharto, di masa pemerintahan Habibie memperoleh keleluasaan untuk berkembang. Untuk menunjukkan kommitmennya pada perbaikan HAM pemerintah memutuskan untuk membebaskan para tahanan dan terpidana kasus politik.
Pada tahap selanjutnya pemerintah melakukan perubahan berbagai undang-undang di bidang politik seperti, Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR dan DPR, dan lain sebagainya yang tujuannya adalah untuk membangun sistem politik dan pemerintahan yang demokratis, dimana rakyat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Akan tetapi harus dicatat, bahwa reformasi politik yang dijalankan pemerintah Habibie masih terbatas, karena tidak semua Anggota DPR dan MPR dipilih oleh rakyat. Di DPR dan MPR masih ada wakil-wakil Tentara Nasional Indonesia dan POLRI yang tidak pernah dipilih oleh rakyat. Khusus di MPR pemerintah tetap mempertahankan sistem pengangkatan anggota-anggota MPR dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah.
Di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1999 pemerintah bersama DPR membuat Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (UU No.39 Tahun 1999) yang essensinya memuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, politik dan hukum. Selain itu UU HAM ini memperkokoh kedudukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dengan memberikan tugas dan wewenang yang lebih jelas dan terinci dalam rangka penegakan HAM. Menurut Undang-undang tersebut, dalam rangka penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia KOMNAS HAM berwenang untuk memanggil dan memeriksa semua pihak yang diduga terkait dengan kasus pelanggaran HAM tersebut. Dengan adanya wewenang ini semua pihak, termasuk Polisi, Tentara dan Pejabat pemerintah yang diduga terkait dengan kasus pelanggaran HAM wajib memenuhi pemanggilan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh KOMNAS HAM. Khusus untuk memeriksa kasus-kasus pelanggaran HAM berat UU No. 39 Tahun 1999 memerintahkan pembuatan UU Pengadilan HAM yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran HAM tersebut.
Upaya untuk memperkuat sistem perlindungan hak asasi manusia yang sudah dimulai oleh pemerintah Habibie dilanjutkan oleh pemerintahan Abdurrachman Wahid. Di bawah Presiden Abdurrahman Wahid pemerintah mendirikan lembaga-lembaga baru untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia seperti, Komisi Ombudsman Nasional yang bertugas untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap rakyat yang memperoleh perlakuan yang tidak adil atau tidak semestinya dari Aparatur pemerintah, dibuatnya UU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberikan dasar hukum bagi dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru. Dalam rangka untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru pemerintah mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang sebagian meniru model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. (Sampai saat ini RUU ini belum sempat diajukan ke DPR).
Pada masa ini pula dilakukan perubahan kedua terhadap UUD 1945. Dalam perubahan kedua itu dimaksudkan pasal-pasal baru yang secara khusus memuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, politik dan hukum. Akan tetapi satu pasal yaitu pasal 28 I mengundang kontroversi, karena memuat ketentuan yang melarang memberlakukan hokum secara surut. Ketentuan ini dinilai oleh banyak pihak akan menghambat proses penuntutan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Dalam rangka untuk memperkuat sistem perlindungan HAM pemerintah dengan dibantu LSM-LSM mempersiapkan RUU Perlindungan Saksi. Sayang sampai hari ini RUU itu belum diajukan ke DPR. Tak dapat dipungkiri selama hampir empat tahun masa Transisi telah terjadi perkembangan dan kemajuan di bidang hokum dan kelembagaan yang dimaksudkan untuk memperbaiki Sistem Perlindungan Hak Asasi Manusia (SIPHAM). Akan tetapi kemajuan-kemajuan normative hokum di bidang SIPHAM tidak serta merta membawa poerbaikan kondisi HAM di Indonesia. Kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi, baik dalam katagori pelanggaran HAM berat atau Pelanggaran HAM biasa. Di wilayah-wilayah seperti Jakarta, Jawa Timur, Aceh, Papua, Kalimantan, Maluku dan tempat-tempat lain masih terus terjadi. Di daerah-daerah konflik yang memendam aspirasi separatisme tak terelakkan terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh masing-masing pihak baik pasukan kelompok separatis. Sementara pelanggaran HAM baru terus terjadi penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu tak kunjung dilakukan. Keadaan ini membuat banyak orang pesimis terhadap upaya perbaikan kondisi HAM di Indonesia.

Kendala Perkembangan HAM Nasional

Ada beberapa faktor yang menjadi kendala dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Pertama, kelompok-kelompok politik dominan (Partai-partai besar, TNI/POLRI, dan Jajaran Birokrasi Pemerintah) tidak mempunyai komitmen yang penuh untuk menyelesaikan secara adil dan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Dimana partai-partai besar dan kelompok politik dominan tersebut merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya termasuk dalam hal perkembangan penuntasan HAM di Indonesia. Pertimbangan kepentingan politik jangka pendek dari Partai-partai politik besar yaitu memperkuat sumber daya dan sumber dana untuk memenangkan PEMILU 2009 dan barangkali belum jelasnya arah reformasi di dalam tubuh TNI dan Jajaran pemerintahan menjadi penghambat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Hal ini dapat dilihat dalam kasus kontroversi antara DPR dan KOMNAS HAM, berkenaan dengan penanganan kasus Semanggi I dan II serta kasus Tri Sakti. Pada satu sisi KOMNAS HAM berpendapat kasus-kasus tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Keadaan ini akhirnya mempersulit pelaksanaan UU tentang Pengadilan HAM. Fakta lain dapat pula dipertanyakan mengapa DPR hanya merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok. Mengapa tidak ada rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Aceh dan di Papua ?
Kedua, krisis ekonomi dan perbankan yang masih terus berlangsung memaksa pemerintah harus memprioritaskan perhatiannya kepada usaha untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut. Meluasnya pengangguran dan semakin besarnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan tak terelakkan mengharuskan pemerintah memberi prioritas pada pemulihan ekonomi nasional. Kegagalan pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi akan mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial yang biasa mengancam proses demokrasi yang tengah berlangsung. Disini dapat berulang tragedi dan paradok yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu demi mengejar pertumbuhan ekonomi kita mengorbankan hak-hak asasi manusia. Semestinya Pemerintah dan DPR dapat membangun konsensus untuk sebuah strategi yang cerdas, yaitu penyelesaian kasus pelanggaran HAM bersamaan dengan upaya penyelesaian krisis ekonomi. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara adil akan memberikan kepercayaan dan rasa aman dikalangan masyarakat luas yang jelas merupakan dukungan yang positif bagi upaya penyelesaian krisis ekonomi.
Kasus-kasus pelanggaran HAM baru masih terus terjadi seperti di Jakarta, Surabaya, dan Kota-kota lain di Jawa Timur, Aceh, Maluku, Papua, di Kalimantan dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan oleh, pertama kekerasan yang masih terus berlangsung di daerah-daerah konflik seperti, Irian Jaya dimana hadir Gerakan Separatisme. Di daerah-daerah itu pelanggaran HAM bisa saja dilakukan oleh pihak TNI Dan Gerakan Separatis. Kedua, perilaku Aparat Pemerintah dan Keamanan termasuk, TNI/POLRI yang belum sepenuhnya menerima dan menyadari pentingnya perlindungan HAM di Era Reformasi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut masih belum jelas dan tuntasnya reformasi di dalam tubuh jajaran pemerintah, TNI/POLRI ikut berpengaruh terhadap perilaku jajaran penegak hokum, aparat keamanan dan aparat pemerintah. Ketiga, Elite politik local dan nasional mengeksploitasi sentimen budaya, agama, kesukuan yang sempit untuk mencapai kepentingan-kepentingan sempit jangka pendek memberikan andil pada terjadinya konflik horizontal yang melahirkan banyak kasus pelanggaran HAM. Keempat Partai-partai politik, khususnya partai-partai politik besar pemenang pemilu yang ada DPR dan Pemerintah belum sepenuhnya mempunyai komitmen untuk memperbaiki kondisi HAM Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh antara lain, kurangnya perhatian DPR dan Pemerintah terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, termasuk kekerasan yang diderita oleh masyarakat miskin dan aktivis hak asasi manusia yang terjadi baru-baru ini.
Perbaikan kondisi HAM di Indonesia tidak tergantung pada Komnas HAM, LSM dan Ketentuan Normative Sistem Perlindungan HAM (SIPHAM). Tetapi perbaikan kondisi HAM di Indonesia sangat ditentukan oleh Komitmen Kelompok – kelompok politik dominan (Partai-partai Politik besar Pemenang Pemilu), proses yang jelas dan tuntas reformasi di tubuh pemerintah, TNI/POLRI, Elite Politik Lokal, yang ditunjukan dengan upayanya yang terus menerus untuk memperkuat masyarakat sipil dan institusi demokrasi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut ikhtiar pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi semestinya harus dilakukan bersamaan dengan upaya penyelesaian secara adil kasus-kasus pelanggaran HAM. Demikian pula peranan pemuka-pemuka agama dan pemuka informal lainnya sangat penting dalam proses pendidikan HAM di kalangan masyarakat luas yang hal itu dengan sendirinya akan memperkuat SIPHAM.


HAM dalam Perundang-undangan Nasional

Tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan penghormatan dan penegakan HAM sangat kuat ketika bangsa ini memperjuangkan hak asasinya, yaitu: "kemerdekaan", yang telah berabad-abad dirampas oleh penjajah.
Para pendiri negeri ini telah merasakan sendiri bagaimana penderitaan yang dialami karena hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah. Oleh karena itu, tidak mengherankan setelah berhasil mencapai kemerdekaan, para pendiri negeri ini mencanturnkan prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi RI (Undang-undang Dasar 1945 dan Pembukaannya) sebagai pedoman dan cita-cita yang harus dilaksanakan dan dicapai.
Namun dalam perjalanan sejarah bangsa, pedoman dan cita-cita yang telah dicanturnkan dalam konstitusi tersebut tidak dilaksanakan bahkan dilanggar oleh pemerintah yang seharusnya melaksanakan dan mencapainya. Kita semua sudah mengetahui bahwa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru tidak hanya tidak melaksanakan penghormatan dan penegakan HAM namun juga banyak melakukan pelanggaran HAM. Hal ini disebabkan oleh alasan politis dan teknis. Alasan politis adalah situasi politik di tingkat nasional dan tingkat intemasional (perang dingin). Di jaman Orde Lama, focus kebijakan Pemerintah RI adalah "Revolusi". Kebijakan ini membawa kita ke konflik internal (domestik) dan intemasional, serta berakibat melupakan hak asasi rakyat. Sedangkan di jaman Orde Baru kebijakan pemerintah terfokus pada pembangunan ekonomi. Memang pembangunan ekonomi juga termasuk upaya pemenuhan HAM (hak ekonomi dan sosial). Namun kebijakan terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan hak sipil dan politik, telah menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi itu sendiri. Adapun alasan teknis adalah karena prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam konstitusi belum dijabarkan dalam hukum positif aplikatif (Undang-undang Organik). Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional. 1. Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".
2. Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirobah menjadi bab tersendiri yang memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia. 3. Dalam Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM telah dimuat hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen utama HAM intemasional, yaitu : Deklarasi Universal HAM, Konvensi hak sipil dan politik, Konvensi hak, ekonomi, sosial dan budaya, konvensi hak perempuan, konvensi hak anak dan konvensi anti penyiksaan. Undang-undang ini selain memuat mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia, juga berisi bab-bab mengenai kewajiban dasar manusia, Komnas HAM, partisipasi masyarakat dan pengadilan HAM. 4. Dalam Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM khususnya dalam Bab III dinyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, antara lain dengan cara yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat kepada anggota kelompok dimaksud. Sedangkan kejahatan terhadap , kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, antara lain berupa perbudakan, penyiksaan, perbudakan seksual dan pelacuran secara paksa, penganiayaan terhadap suatu kelompok, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid. Dalam Bab VII diatur pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Selain produk hukum nasional tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah konvensi HAM intemasional, di antaranya yang terpenting adalah :
1. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), diratifikasi dengan UU No.7 /1984. 2. Konvensi HAK Anak (CRC), diratifikasi dengan Keppres No.36/1990. 3. Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), diratifikasi dengan UU No.5/1998. 4. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras (CERD), diratifikasi dengan UU No.29/1999.
5. Sejumlah (14) konvensi ILO (Hak pekerja).


Kesimpulan

Kesimpulan akhimya, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, setiap fase perkembangan pemajuan HAM yang ditandai berupa lahimya suatu konvensi, kovenan, atau deklarasi dan program aksi temyata selalu dilatarbelakangi oleh suatu pristiwa penting yang mendorong timbulnya kesadaran masyarakat intemasional untuk menggalang segala kekuatan mengatasi masalah itu. Kedua, HAM adalah konsep yang berkembang secara amat dinamis, dari semula yang keberadaannya hanya implisit di dalam kewajiban menjadi eksplisit, dari yang sederhana dan terbatas pada beberapa hak menjadi hak-hak yang luas dan sangat terinci. Ketiga, bangsa Indonesia telah menyadari pentingnya HAM sejak berjuang untuk mendapatkan hak kemerdekaan yang dirampas oleh penjajah. Karenanya, para pendiri negeri ini telah mencantumkan prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi. Namun diakui bahwa prinsip-prinsip HAM dalam Konstitusi tidak segera dijabarkan oleh Pemerintah masa Orde Lama dan Orde Baru dalam hukum positif, bahkan sebaliknya malah dilanggar. Keempat, setelah memasuki era reformasi, pemerintah kita mulai giat untuk memasukkan HAM dalam kerangka hukum nasional. Hal ini antara lain terlihat dari pengesahan UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM serta ratifikasi sejumlah konvensi HAM intemasional.

“ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIKAN DENGAN PENYADAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KPK”

OLEH
MUH. DWITA KUMU W, SH, SIK, MH
Bab 1

1.PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Masyarakat internasional telah memberikan penilaian sekaligus kesepakatan bahwa korupsi merupakan salah satu sumber kemiskinan di Benua Asia dan Afrika.Di sisi lain, diakui pula bahwa mayoritas negara maju turut menikmati hasil korupsi yang terjadi di negara miskin. Berangkat dari kenyataan sejarah abad 21 tersebut,maka diasumsikan bahwa korupsi dan kemiskinan memiliki hubungan kausalitas yang diintervensi oleh variabel “save haven country” terhadap koruptor berikut aset-aset yang dilarikan dan ditempatkan di negara-negara tersebut. Perkembangan pesat korupsi pada abad ini sejalan dan berdampingan dengan pertumbuhan dan perkembangan pencucian uang (penempatan, penyamaran, dan pengintegrasian uang hasil kejahatan), terutama di beberapa negara yang relatif maju di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan.
Dari sekian banyak negara di Asia yang terkena krisis pada tahun 1997/1998 Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum mengalami recovery. Bahkan kondisinya tetap tidak bisa diatasi. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang sudah mencakup semua bidang. Kalau kita lihat bagaimana Korea Selatan dan Malaysia, mereka sanggup keluar dari krisis karena korupsi dapat dibasmi oleh pemerintahnya. Korupsi telah membuat bangsa kita mengalami keterpurukan di segala bidang. Presiden Bank Dunia mengatakan bahwa korupsi merusak perekonomian lokal dan memberikan dampak berupa demoralisasi pada masyarakat. Dalam kondisi yang paling buruk korupsi bahkan bisa membuat pemerintah menjadi penjarah serta pemicu pecahnya perang saudara dan kekacauan sosial. Hal ini telah dialami bangsa kita dan kalau kita tidak serius disikapi persoalan korupsi maka bangsa kita yang besar ini akan terancam bubar. Berdasarkan pada Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional, Indonesia masih di posisi sebagai salah satu negara terkorup. Tahun 2006 ini perilaku korupsi di Indonesia dengan Indeks Persepsi 2,4 dengan nomor urut 130 dari 163 negara yang disurvei. Indonesia memiliki peringkat sama dengan Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Ethiopia, Papua Nugini, Togo, dan Zimbabwe. Tentu kondisi ini semakin memperkuat bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini. Usaha yang dilakukan Kita harus sepakat bahwa korupsi telah menjadi sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary). Oleh karena itu langkah-langkah untuk memberantasnya tidak cukup dengan cara-cara penegakan hukum yang konvensional hanya dengan menggunakan polisi dan jaksa sebagai penyidik dan penuntut serta pengadilan negeri sebagai lembaga yang mengadilinya. Hal ini disebabkan karena korupsi juga telah menjadi budaya di lembaga-lembaga penegakan hukum konvensionaltersebut. Menyadari keadaan yang darurat tersebut maka perang melawan korupsi memerlukan cara-cara yang luar biasa yang dimulai dengan diubahnya Undang-Undang Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah kembali oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Sebagai amanat yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 20/2001 adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan (tanggal 21 November 2001). Pada tahun 2002 di undangkanlah Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Pasal 6 disebutkan tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Kinerja KPK dan Pengadilan Tipikor memang cukup membuat gerah para koruptor. Telah banyak pejabat negara yang menjadi terdakwa bahkan berujung divonis penjara yang tidak ringan. Hal ini tentunya membuat para koruptor harus berhati-hati. Bahkan kinerja KPK telah berhasil membuktikan bahwa mafia peradilan telah bergentayangan di lingkungan peradilan kita dengan membongkar kasus suap yang melibatkan pengacara Probosutejo, Harini Wijoso, dan pegawai Mahkamah Agung Pono Waluyo. Usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dan Pengadilan Tipikor tentunya membuat para koruptor harus melakukan perlawanan balik agar KPK menjadi macan ompong yang tidak mempunyai kekuatan.
Sebagai serangan terhadap KPK dan Pengadilan Tipikor saat ini telah diajukan tiga permohonan judicial review kepada Mahkmah Konstitusi (MK) dengan No 12/PUU-IV/2006, No 16/PUU-IV/2006, dan No 19/PUU-IV/2006. Dari ketiga permohonan ini ada 6 pokok permasalahan yang diajukan pemohon yaitu keberadaan KPK, keberadaan pengadilan Tipikor, penerapan asas praduga tak bersalah berkaitan dengan tidak adanya kewenangan KPK mengeluarkan SP3, keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman, ketentuan dan penerapan frase mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat pada Pasal huruf b UU KPK, dan asas retroaktif pada penanganan perkara oleh KPK.
Tiga permohonan uji materil ini tentunya membuat kita waswas dan perlu melakukan penggalangan kekuatan agar MK tidak mengabulkan tiga permohonan tersebut. Bila MK mengabulkan ketiga permohonan tersebut baik sebagian ataupun seluruh permohonan maka akan berdampak besar yaitu : Pertama, matinya salah satu amanat reformasi yaitu memberantas korupsi.
Korupsi akan semakain merajalela karena pemberantasan korupsi kembali ke cara-cara konvensional yang terbukti dalam pemberatasan korupsi kinerjanya sangat buruk. Kedua, bila KPK dan Pengadilan Tipikor dibubarkan maka ini juga akan berdampak pada eksistensi MK. KPK dan Pengadilan Tipikor adalah lembaga yang dibentuk setelah reformasi ,Bila KPK dan Pengadialn Tipikor berhasil dikalahkan maka hal tersebutlah yang memang sangat diinginkan oleh pihak antireformasi yang tak lain adalah para Koruptor itu sendiri. Korupsi adalah kejahatan terorganisasi yang telah membuat rakyat kita sengsara. Salus populi supre lex (keselamatan rakyat --bangsa dan negara-- adalah hukum yang tertinggi). Keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor adalah lembaga darurat yang kita butuhkan untuk memberantas korupsi. Serangan balik para koruptor harus dilawan demi terbentuknya negara yang bersih dan bebas KKN. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun. Salah satu cara yang cukup efektif ialah merekam dan menyadap pembicaraan orang-orang yang diduga melakukan korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah sudah meluas segala lapisan masyarakat, mulai dari tingkat RT, Kelurahan s/d pejabat tingkat atas dan bawahannya ,disemua departemen pemerintahan, demikian juga dikalangan masyarakat lluas, sogok mcnyogok, uang pelican, pungli, sudah merajalela dimana - mana, sudah lumrah bahkan sudah dianggap membudaya. sarnpai ada yang mengatakan korupsi menapakan way of life bagi bangsa Indonesia. Yargon-yargon telsebut rasanya memang menyakitkan, tetapi nyatanya angka kejahatan dari kasuss korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun, terus berkembang biak baik dad jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian kauangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya masuk segala aspek kehidupan. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi,maka akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan ekonomi, namun juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada ltm, mnya, yang kini sama-sama kita rasakan.
Dari judul diatas dapat diartikan bahwa dalam kehidupan bernegara tidak ada sesuatu yang tanpa batasan, setiap kewenangan ataupun hak pasti ada batasannya. Tidak ada kebebasan hidup sebebas-bebasnya, semaunya sendiri, namun pasti ada pembatasan dan didisiplinkan oleh norma-norma kehidupan. Yang dimaksud dengan batasan-batasan tersebut adalah batasan dari insan pribadi / kelompok maupun dari aturan-aturan negara melalui sistem hukum yang berlaku, aturan ataupun batasan tersebut dapat berupa peraturan yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. Sebagai contoh dalam ketentuan pasal 7 KUHAP, dalam pasal 7 KUHAP tersebut dinyatakan antara lain bahwa karena Tugas dan Kewajibannya Penyidik diberi wewenang untuk memanggil orang, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita barang-barang, bahkan karena kewajibannya penyidik dapat melakukan tindakan lain maupun tindakan apapun juga asal berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Secara kasat mata, tindakan penyidik tersebut telah melanggar Hak Asazi Manusia (HAM), namun karena atas dasar kuasa Hukum / Perundang-undangan, tindakan tersebut sah dan dapat dilakukan sepanjang guna kepentingan penyidikan. Demikian juga dengan penyidik pada KPK , karena tugas dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 12 a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai wewenang yang sah menurut UU untuk melakukan tindakan penyadapan itu. Namun yang menjadi permasalahan yang perlu diteliti secara konseptual adalah, apakah penyadapan itu tidak bertentangan dengan pasal 40 UU No. 31 Tahun 1999, tentang telekomunikasi.
Dalam mencari Jawaban dari permasalahan tersebut perlu dilakukan pengkajian dan penelitian secara konseptual atas aturan-aturan dan asaz-asaz yang termuat dalam UU KPK dan UU Telekomunikasi tersebut dengan mempertimbangkan hukum secara empiris ataupun praktek yang terjadi dilapangan.
KPK dalam melaksanakan tugasnya berpegangan pada UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 (tentang Tindak Pidana Korupsi ) Dimana terdapat perluasan dalam pelaksanaan Acara dalam ketentuan UU tersebut, sehingga terdapat beberapa hal yang berbeda dengan apa yang diatur oleh KUHAP, khususnya tentang Alat Bukti. Dengan adanya ketentuan perluasan alat bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk dalam pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 tersebut, pertanyaan muncul dalam identifikasi masalah tersebut dibawah ini

1.2 IDENTIFIKASI MASALAHAN
Apakah wewenang KPK dalam melakukan penyadapan guna mencari alat bukti tidak bertentangan dengan HAM dan Undang-undang lainnya?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai sumbang saran dari penulis dalam hal mengupas berbagai permasalahan menyangkut seputar kewenangan KPK dalam hal kewenangan penyadapan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

1.4 RUANG LINGKUP
Karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis maka Ruang lingkup penulisan ini dibatasi seputar analisis kewenangan KPK dalam hal penyadapan terkait tindak pidana korupsi, dan juaga menyinggung hambatannya, dan hal-hal lain yang terkait dengan judul penulisan ini.

Bab II
2. TEORI KONSEPSIONAL

2.1 TEORI DALAM FILSAFAT HUKUM

2.1.1 ALIRAN POSITIVISME HUKUM
Kepemilikan atas Hak dalam aliran positivisme Hukum ( dalam filsafat Hukum) merupakan pemberian dari negara, oleh karena itu negara adalah sumber adanya hak. Paham ini dianut oleh aliran positivisme hukum dan pandangan sosialisme-marxisme, sehingga menurut faham ini Hak seseorang / individu sangat dibatasi , dengan kata lain hak –hak yang bersifat pribadi ataupun hak individu berada ataupun dibatasi oleh hak-hak yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu hak-hak yang diberikan oleh Negara, hak-hak yang diperoleh dari negara bersifat umum maksudnya hak tersebut berlaku secara adil bagi seluruh warga negara, artinya hak pribadi berada dibawah hak yang bersifat umum, artinya kepentingan umum dikatakan lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi. (1)
1. Hukum sebagai Panglima, Universitas Sriwijaya 2007Dari paragraf diatas,dapat diperluas pengertiannya yaitu bahwa Hukum ataupun peraturan-peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum (masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu. sehingga disini posisi Hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu, karena hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, hal tersebut sejalan dengan azaz / konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan/ individu.

2.1.2 ALIRAN ARISTOTELES
Gambaran tentang “keadilan” menurut Aris Toteles (Mr Soetikto, Filsafat Hukum bagian 1, hal.15) dimana Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan, yang mana dinyatakan; “Hukum terpaksa melakukan / membuat aturan-aturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan” sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah, Hukum merupakan suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum, selanjutnya hukum tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa seseorang / perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang (kepentingan individu) demi tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum. (2)

2. Filsafat Hukum dan perkembangan Hukum di Indonesia, Artikel Internet Hukum.com 2007
Dari pemikiran aris toteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa Hukum ataupun peraturan-peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum (masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu. sehingga disini posisi Hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu, karena hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, hal tersebut sejalan dengan azaz / konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan/ individu.
Bila dikaitkan dengan pokok permasalahan diatas maka kewenangan penyadapan guna mengumpulkan alat bukti (pasal 12 huruf a UU no.30/2002) yang dilakukan oleh KPK adalah suatu bentuk dari proses penyelidikan / penyidikan guna penegakkan hukum, dimana pada hakekatnya penegakan hukum tersebut adalah demi kepentingan umum, yang mana kepentingan umum lebih tinggi kedudukannya daripada kepentingan individu.

2.1 DASAR HUKUM PEYIDIKAN DENGAN PENYADAPAN.
Dalam melakukan penyadapan, KPK mempunyai dasar hukum yang sangat kuat Penulis menilai dasar hukum yang digunakan KPK dalam melakukan penyadapan telepon sudah cukup kuat. Hak penyadapan yang dimiliki KPK tidak boleh dihilangkan hanya karena masalah dasar hukum, KPK memiliki dasar hukum UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan penyadapan.
Banyak pihak sebelumnya mempermasalahkan dasar hukum yang digunakan KPK dalam melakukan kegiatan penyadapan, yaitu Peraturan Menkominfo. Padahal, dalam tata urutan perundang-undangan, peraturan menteri tidak dapat dijadikan dasar hukum. Bahkan hal tersebut menjadi perdebatan karena sebagian beranggapan memandang dasar hukum bagi KPK untuk melakukan penyadapan harus kuat karena hal itu terkait dengan HAM, selain Undang-undang KPK tersebut, MK (mahkamah Konstitusi) telah memberikan keputusan yang final terkait judicial review yang diajukan berbagai pihak tentang kewenangan KPK dalam hal penyadapan, sehingga kekuatan KPK dalam melakukan penyadapan mempunyai landasan yuridis yang cukup memadai, adapun dasar hukum KPK dalam melakukan penyadapan adalah sebagai berikut
1. UU 30/2002 tentang Komisi pemberantasan tindak Pidana Korupsi
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;



2. Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas permohonan judicial review kepada Mahkmah Konstitusi (MK) dengan No 12/PUU-IV/2006, No 16/PUU-IV/2006, dan No 19/PUU-IV/2006. Yaitu:
MK menegaskan konstitusionalitas eksistensi KPK. Menguatkan kewenangan strategis KPK untuk menyadap, menegaskan SP3 tidak diperlukan. Jika ada tersangka/terdakwa yang diketahui tidak bersalah, KPK wajib menuntut bebas di pengadilan. (3)

2. HAMBATAN DALAM PENYIDIKAN MELALUI PENYADAPAN OLEH KPK.

1.1 ADANYA PERTENTANGAN ANTAR UNDANG-UNDANGKetentuan dalam pasal 12 ayat (1) huruf a yang berbunyi,"Dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan." Ketentuan dalam pasal diatas dirasa bertentanga dengan ketentuan pasal-pasal dibawah ini:
3. Kewenangan KPK dalam penyadapan, Artikel internet hukum.com 2007Undang undang Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, dalam ketentuan pasal 40 termuat aturan sebagai berikut “setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomonikasi dalam bentuk apapun.
”Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi, mengembangkan kepribadiannya, serta mendapatkan perlindungan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi. Selain itu kewenanagan penyadapan oleh KPK tersebut dirasa sangat bertantangan dengan Sehingga hal diatas dijadikan alasan guna memangkas kewenanagan KPK khususnya dalam kewenangannya melakukan penyadapan tindak pidana Korupsi.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 19 (2) UU N0. 18/2003 tentang Advokat yang memberikan perlindungan kepada advokat dari tindakan penyitaan atau pemeriksaan terhadap berkas dan dokumen, serta perlindungan dari penyadapan sarana komunikasi elektronik.“Disini dijabarkan oleh beberapa advokat bahwa ada imunitas yang dimilki advokat yaitu tidak boleh ada penyadapan terhadap advokat yang menjalankan profesinya,”
Di luar UU Advokat dan UU KPK, sebenarnya ada beberapa peraturan atau rancangan peraturan yang relevan dengan penyadapan meskipun tidak secara langsung menyinggung soal advokat. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya, mengakui bahwa hubungan antara penasihat hukum dengan kliennya adalah rahasia. Simak saja Pasal 71 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan”.
Adanya pertantangan dalam perundang-undangan diatas dijadikan senjata yang ampuh oleh sebagian orang guna mencari celah hukum maupun memanipulasi ketentuan hukum yang pada akhirnya bertujuan guna melemahkan KPK dalam menggunakan kewenangannya dengan metode penyadapan dalam penyidikan tindak pidana Korupsi.

1.5 ADANYA PENDAPAT AHLI YANG MENYATAKAN PENYADAPAN OLEH KPK ADALAH CACAT HUKUM.

Chairul Huda, pengajar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta yang menjadi ahli secara implisit menyatakan penyadapan yang dilakukan KPK melanggar due process of law (proses hukum yang wajar). (4)

Pelanggaran tersebut menurut Chairul disebabkan tiga hal, Pertama, proses penyadapan tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK hanya menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyadapan. Padahal, menurut Chairul, bukan lembaganya yang berwenang tapi penyidik yang mempunyai kewenangan itu.
Kedua, proses penyadapan yang dilakukan seharusnya mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri (PN). Ditambahkan Chairul, penyadapan pada dasarnya melanggar privasi dari seseorang. Mengibaratkan penyitaan yang harus mendapatkan izin PN, maka penyadapan menurut Chairul adalah tindakan mengambil hak seseorang. Agar tidak melanggar due process of law, urai Chairul, Undang-Undang harus mengatur batasan-batasannya.
Ketiga, tidak ada jangka waktu dalam pelaksanaan penyadapan. Menariknya, jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka pengaturan penyadapan di Perpu soal Terorisme lebih rinci mengatur batasan-batasan penyadapan.
Perlu diakui pendapat para ahli tersebut dapat dijadikan dasar hukum maupun dasar opini guna menuntut keabsahan penyidikan dengan penyadapan yang dilakukan oleh KPK.

1.6 ADANYA PERMOHONAN JUDICIAL RIVIEW KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI MENYANGKUT KEABSAHAN KEWENANGAN PENYADAPAN OLEH KPK

Permohonan judicial review kepada Mahkmah Konstitusi (MK) yakni perkara 012/PUU-IV/2006 yang diajukan Mulyana W. Kusumah, perkara 016/PUU-IV/2006 yang diajukan Nazarudin Sjamsuddin dan perkara 019/PUU-IV/2006 yang diajukan Capt.Tarcisius Walla, dimana permohonan tersebut diantaranya adalah menggugat kewenangan KPK dalam melakukan tindakan penyadapan dalam proses penyidikan tindak pidana Korupsi, dimana secara tidak langsung turut mempengaruhi pelaksanaan penyidikan oleh KPK dengan metode penyadapan tersebut, maksudnya walaupun selama proses Permohonan judicial review maupun sampai dengan tingkat pemeriksaan perkara oleh MK kegiatan penyidikan dengan metode penyadapan tetap berjalan namun dengan adanya judicial review tersebut secara psikologis menjatuhkan mentalitas para penyidik KPK dalam menjalankan tugasnya terkait misi penyadapan dimana para penyidik KPK menjadi ragu apabila putusan MK berpihak kepada pemohon (mengabulkan permohonan pemohon untuk menolak adanya penyidikan dengan metode penyadapan) maka kegiatan penyidikan yang sedang dilakukan dengan menggunakan metode penyadapan akan berakhir dengan sis-sia belaka.
1.7 ASUMSI BAHWA PENYADAPAN MERUPAKAN BENTUK PELANGGARAN HAM
Menyadap telepon merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Artinya, aktivitas penyadapan telepon di manapun tidak dibenarkan. Aktivitas ini sudah pasti mengganggu privasi seseorang sehingga sangat ditentang. Namun di lain sisi, menyadap telepon dapat menjadi cara yang sangat efektif untuk mengetahui sebuah informasi yang sangat rahasia. Sehingga terkadang proses penyadapan dibenarkan. Khususnya untuk membantu proses penyelidikan pada kasus yang sangat berbahaya/besar seperti kasus korupsi.
Berapa LSM dan Komponen masyarakat beberapa waktu lalu, mengkritik Undang-Undang KPK karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM). Mereka beranggapan UU tersebut memungkinkan KPK berwenang mengbayang-bayangi dan juga membatasi kebebasan seseorang tanpa disertai tuduhan melakukan aksi kejahatan melalui media penyadapan. Hal diatas dikuatkan oleh beberapa tokoh, elemen masyarakat bahkan anggota dewan (DPR/ DPRD) mengemukakan pendapatnya yang mempertanyakan keberadaan KPK dengan kewenangan penyadapan yang dapat dikatagorikan sebagai suatu pengekangan kebebasan oleh KPK terhadap warga negara dan hal tersebut dapat melahirkan suatu pelanggran HAM.
Bahkan senada dengan pemikiran diatas beberapa kalangan menilai pemberlakuan ketentuan penyidikan oleh KPK melalui kewenangan KPK dalam menyadap sarana telekomunikasi merupakan suatu bentuk ketidakmampuan dari aparat negara dalam memberantas Korupsi secara transparan. Dan hal tersebut sangat sensitif dengan issue pelanggaran HAM.
Kekuasaan secara berlebihan yang diberikan kepada KPK seperti penyadapan telepon tersebut juga dikhawatirkan akan digunakan oleh pihak pemerintah untuk membungkam pihak oposisi. Padahal penyadapan telepon sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang ilegal, namun saat ini menjadi dilegalkan dengan adanya UU tentang KPK tersebut. Para kalangan tersebut berpendapat bahwa tanpa adanya kontrol yang efektif hal tersebut justru menjadi teror tersendiri di dalam masyarakat yang pada akhirnya akan melahirkan pengekangan privasi yang akan bermuara pada pelanggaran HAM.
Dinegara Maju seperti Amerika Serikat, Penyadapan telepon ini menjadi kewenangan dari pengadilan maksudnya dapat dilaksanakan penyadapan setelah ada ketetapan (ijin) dari pengadilan, hal tersebut bertujuan agar tindakan penyadapan tersebut diharapkan dapat lebih terkontrol dan untuk mencegah jangan sampai terjadi over tindakan. Sedangkan dalam UU KPK , penyidik diberi kekuasaan untuk melakukannya, dan kemudian baru dibawa ke pengadilan (mekanisme pre-trial). Mekanisme pre-trial yang diadopsi dalam Undang Undang KPK itu diambil dari peradilan anglo-saxon dengan sistem juri yang melibatkan elemen-elemen masyarakat. Untuk itu, sebagian kalangan masyarakat tersebut menilai sebaiknya tindakan KPK yang berkaitan dengan penyadapan itu nantinya harus mendapat persetujuan pengadilan sehingga mereka mengusulkan harus adanya amandeman dari UU KPK.
Sementara itu mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Asmara Nababan mengatakan meskipun UU KPK sudah disahkan, diharapkan pemerintah tetap memperhatikan jangan sampai terjadi pelanggaran terhadap HAM."Kita tidak bisa menolak terhadap pelaksaan UU KPK tersebut, tetapi yang bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat yaitu mengawasi jalannya UU tersebut supaya tidak terjadi pelanggaran HAM. Menurutnya, UU KPK bisa menjadi pedang bermata dua. Satu kepentingan nasional untuk memberantas korupsi, tetapi di sisi lain bisa menjadi alat kepentingan politik penguasa.(5)Bab III
3. ANALISA PERMASALAHAN

3.1 DENGAN PENDEKATAN FILSAFAT HUKUM
5. Kutipan wawancara Asmara nababan, Koran tempo 2007 Filsafat, sebagai induk maupun sumber segala ilmu pengetahuan dijadikan penulis sebagai landasan awal dalam pembahasan terkait permasalahan Apakah wewenang KPK dalam melakukan penyadapan guna mencari alat bukti tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 40 UNDANG-UNDANG no. 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi?
Dari permasalahan yang timbul diatas, penulis mencoba melakukan analisis melalui sudut pandang filsafat hukum, dimana sebelum melakukan analisa tersebut penulis akan memberikan gambaran tentang “keadilan” menurut Aris Toteles (Mr Soetikto, Filsafat Hukum bagian 1, hal.15) dimana Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan, yang mana dinyatakan; “Hukum terpaksa melakukan / membuat aturan-aturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan” sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah, Hukum merupakan suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum, selanjutnya hukum tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa seseorang / perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang (kepentingan individu) demi tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum.
Dari pemikiran aris toteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa Hukum ataupun peraturan-peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum (masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu. sehingga disini posisi Hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu, karena hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, hal tersebut sejalan dengan azaz / konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan/ individu.
Bila dikaitkan dengan pokok permasalahan diatas maka kewenangan penyadapan guna mengumpulkan alat bukti (pasal 12 huruf a UU no.30/2002) yang dilakukan oleh KPK adalah suatu bentuk dari proses penyelidikan / penyidikan guna penegakkan hukum, dimana pada hakekatnya penegakan hukum tersebut adalah demi kepentingan umum, yang mana kepentingan umum lebih tinggi kedudukannya daripada kepentingan individu.
Dari paragraph diatas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa segala bentuk proses penegakan hukum (peyidikan, penyelidikan dll) bertujuan guna kepentingan umum, sehingga harus lebih diutamakan dari kepentingan individu bahkan dapat menghapuskan hak-hak pribadi individu, bila hal ini dikaitkan dengan pasal 40 Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi dimana secara tegas memuat larangan “setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomonikasi dalam bentuk apapun” selain itu dalam UUD 45 pasal 28 ayat (2) , UU No. 18 / 2003 pasal 19 ayat (2) / UU Advokat dan pasal 71 ayat (1) KUHAP yang mana ketentuan pasal –Pasal diatas adalah ketentuan pasal yang sifatnya melindungi kepentingan individu yang dimaksudkan guna melindungi rahasia individu-individu dari perbuatan penyadapan.
Bila kita kaji lebih jauh, maka kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan (pasal 12 huruf a UU no.30/2002) dalam peroses penyelidikan/penyidikan adalah suatu tindakan dalam menjalankan Undang-undang demi tegaknya hukum yang mengutamakan kepentingan umum, sedangkan pasal 40 UU No.36/ 1999 tentang larangan melakukan penyadapan adalah guna melindungi kepentingan pribadi (rahasia Individu) senada dengan ketentuan dari UUD 45 pasal 28 ayat (2) , UU No. 18 / 2003 pasal 19 ayat (2) / UU Advokat dan pasal 71 ayat (1) KUHAP yang hanya bertujuan melindungi kepentingan perorangan/ kelompok, sehingga bila dilihat dari sudut pandang Filsafat Hukum menurut Aris Toteles dimana Aris toteles mengemukakan “Hukum terpaksa melakukan / membuat aturan-aturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal perseorangan” maka penegakan hukum demi tercapainya kepentingan umum tersebut lebih didahulukan dari pada kepentingan pribadi. Artinya penyadapan yang dilakukan KPK secara hukum syah dan dapat dilakukan selama demi kepentingan penegakan Hukum dan untuk kepentingan umum.
Hal yang dilarang menurut pasal 40 Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi (tentang larangan penyadapan) adalah penyadapan yang bertujuan guna kepentingan pribadi, contohnya ; seseorang merekam pembicaraan orang lain guna kepentingan / keuntungan pribadi si perekam tersebut.

3.2 DENGAN PENDEKATAN HUKUM POSITIF.
Seperti telah disebutkan diatas, dasar hukum KPK dalam melakukan penyadapan guna kepentingan penyidikan telah mempunyai legitimasi hukum yang kuat yaitu;
1. UU 30/2002 tentang Komisi pemberantasan tindak Pidana Korupsi
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas permohonan judicial review kepada Mahkmah Konstitusi (MK) dengan No 12/PUU-IV/2006, No 16/PUU-IV/2006, dan No 19/PUU-IV/2006. Yaitu:
MK menegaskan konstitusionalitas eksistensi KPK. Menguatkan kewenangan strategis KPK untuk menyadap, menegaskan SP3 tidak diperlukan. Jika ada tersangka/terdakwa yang diketahui tidak bersalah, KPK wajib menuntut bebas di pengadilan.
Sebenarnya dengan adanya keputusan dari MK yang menguatkan kewenangan dari KPK dalam melakukan penyadapan merupakan keputusan Final dan dapat dijadikan sebagai dasar hukum positif kuat dan mengikat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan penyidikan melalui metode penyadapan oleh KPK. Sehingga Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi norma dan kaidah hukum, khususnya hukum positif , keputusan MK tersebut dapat dijadikan dasar hukum dalam menjawab adanya opini sebagian ahli maupun pakar hukum yang meragukan legalitas KPK dalam melakukan penyadapan guna kepentingan penyidikan.
Selain diatas dalam ketentuan pasal 42 ayat (2) dan pasal 43 undang undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, secara jelas dan tegas menyatakan bahwa guna proses peradilan pidana dapat dilakukan penyadapan. Sebagaimana pasal dibawah ini:
Pasal 42
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.

Dari ketentuan pasal diatas,artinya selama guna proses penyidikan/ proses hukum penyadapan dapata dilakukan terhadap semua individu terlepas provesi dari individu tersebut (jaksa, advokat, pengusaha, dll)

3.3 DENGAN PENDEKATAN LOGIS. Ada beberapa alasan pembenar yang secara logika dapat diterima sehingga KPK harus diberi wewenang untuk menyadap dan merekam pembicaraan. Pertama, KPK tidak diperbolehkan mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan. Karena itu, KPK membutuhkan alat bukti yang kuat terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, dimana guna menemukan alat bukti yang kuat tersebut dan guna menjerat pelaku korupsi diperlukanlah metode penyadapan. Kedua, KPK menghadapi korupsi yang sudah complicated dan susah untuk diberantas sehingga perlu langkah-langkah pengumpulan alat bukti yang luar biasa pula sebagai langkah ekstra (penyadapan). Ketiga, penyadapan dan perekaman pembicaraan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi itu dilakukan dalam rangka kepentingan penegakan hukum (law full intersection).Kewenangan KPK dalam menyadap dan merekam pembicaraan tidak perlu ditakuti secara berlebihan dan terkesan bahwa KPK menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. Kalau memang seseorang tidak terlibat dalam korupsi, dia tidak perlu khawatir menjadi sasaran penyadapan dan perekaman. Selain itu, penyadapan dan perekaman tidak dilakukan secara acak dan sewenang-wenang tanpa kontrol. Sebelum melakukan itu, KPK pasti telah memiliki bukti permulaan dan laporan dari masyarakat tentang adanya dugaan korupsi oleh orang yang akan dijadikan sasaran.Penyadapan dan perekaman itu tidak dilakukan sendiri oleh KPK. Dalam pelaksanaannya, KPK akan bekerja sama dengan lembaga lain. Hal itu bisa dilihat dengan keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No 43/ 2006 tentang Penyadapan Legal secara Hukum. Hal tersebut membuktikan bahwa wewenang yang dimiliki KPK itu tidak akan mudah untuk disalahgunakan. Kita harus memberikan apresiasi positif dalam upaya-upayanya memberantas korupsi.
3.4 PENYADAPAN OLEH KPK BUKAN MERUPAKAN PELANGGARAN HAM.
Bila dilihat dari definisinya banyak sekali pengertian tentang HAM dimana menurut Pasal 1 Angka 1 UU No 39/1999 tentang HAM adalah ”seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia”. Selain itu beberapa pakar HAM juga meyimpulkan HAM adalah ”Hak-hak dasar yang mutlak didapat manusia dan melekat pada manusia sejak dirinya dilahirkan”. .(6) bila kita simak secara mendalam tentang pengertian diatas, maka yang dapat kita ketahui adalah bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada manusia, dimana yang dimaksud dengan manusia disini adalah manusia dalam arti personal artinya individu-individu, sehingga dapat disimpulkan HAM merupakan hak yang melekat pada individu-individu. Seingga HAM sebatas hanya melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat hak-hak perorangan.
Penulis melakukan analisis melalui alur pikir bahwa setiap hak pasti ada batasannya. Tidak ada kebebasan hidup sebebas-bebasnya semaunya sendiri, namun pasti ada pembatasan dan didisiplinkan oleh norma-norma kehidupan. Yang dimaksud dengan batasan-batasan tersebut adalah batasan dari insan pribadi / kelompok maupun dari aturan-aturan negara melalui sistem hukum yang berlaku, aturan ataupun batasan tersebut dapat berupa peraturan yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. Sebagai contoh dalam ketentuan pasal 7 KUHAP tersebut antara lain dinyatakan bahwa karena Tugas dan Kewajibannya, Penyidik diberi wewenang untuk memanggil orang, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita barang-barang, bahkan karena kewajibannya penyidik dapat melakukan tindakan lain/diskresi berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimata HAM (Hak Azazi Manusia) mengekang kemerdekaan dan kebebasan seseorang adalah suatu pelanggaran terhadap hak-hak seseorang, namun hak-hak perorangan tersebut dapat dihapuskan dengan adanya ketentuan hukum guna kepentingan penyidikan. Dengan kata lain Artinya Hukum dapat menghapuskan Hak-hak perorangan. (7)
7. Perkembangan Ham dan Hukum Nasional, Muh. Faal, SH, MH, 2000Sehingga menurut penulis penyadapan oleh KPK merupakan bagian dari kewenangan penyidikan sah yang diatur undang-undang. Penulis juga mempunyai pemikiran "Korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga pendekatan konvensional tidak cukup untuk memberantasnya," . sehingga apa yang dilakukan KPK adalah sesuai dengan kepentingan penyidikan guna mencari alat bukti. Sehingga tindakan hukum tersebut (sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 12 a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ) disyahkan menurut hukum dan dapat menerobos masuk kedalam kepentingan pribadi seorang tersangka tindak pidana korupsi melalui metoda penyadapan guna mencari alat bukti bahkan dapat dikatakan mencabut Hak-hak pribadi tersangka.
Secara kasat mata, tindakan penyidik tersebut telah melanggar Hak Asazi Manusia (HAM), namun karena atas dasar kuasa Hukum / Perundang-undangan, tindakan tersebut sah dan dapat dilakukan sepanjang guna kepentingan penyidikan.
Bila dikaitkan dengan ketentuan pasal 40 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, tentang telekomunikasi yang mana secara jelas mengatur larangan melakukan penyadapan, penulis memberikan argumen bahwa ketentuan pasal 40 UU no.31 tahun 1999 adalah ketentuan yang melindungi hak privasi dari individu-individu, sedangkan hak-hak privasi individu tersebut dapat dijangkau / terhapus oleh ketentuan hukum yang lebih kuat.
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyadap telepon genggam (HP) dan merekam pembicaraan sesuai Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, terhadap seseorang telah diatur secara baku. "UU 30 tahun 2002 memang memberi ruang bagi KPK boleh melakukan penyadapan, tetapi itu harus yang terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Sebenarnya wewenang penyadapan merupakan hal biasa. Di sejumlah negara, seperti Inggris, dan AS, pemerintahnya berhak menyadap pembicaraan warganya. Tetapi hal itu dilakukan untuk melindungi warganya. "Tetapi kalau di sini, ada pejabat pemerintah atau anggota dewan yang merasa keberatan HP disadap, justru dia yang harus dicurigai," Menurut penulis, HP bukan sebuah privacy. Melainkan sarana publik. Apapun teknologinya, kalau menggunakan jalur publik radio telekomunikasi, berarti tidak ada privacy. Semuanya bisa disadap. "Jika ingin pembicaraan tidak diketahui, jangan menggunakan jalur publik, tetapi ketemu langsung tatap muka," Selain itu, tidak ada kewajiban operator telekomunikasi yang melakukan perlindungan terhadap pelanggannya apalagi pelanggannya melakukan tindakan negative berupa tindak pidana korupsi.
Dalam ilmu hukum, Kepentingan Publik derajadnya lebih tinggi dari pada kepentingan pribadi. Dan kepentingan publik yang harus diutamakan. dalam azas hukum tindakan penyidik KPK dalam melakukan penyadapan yang diatur oleh hukum yang istimewa tersebut dalam menghadapi tindak pidana korupsi merupakan "lexs pecialis derogat lex generalis".
Dalam kaitannya dengan tindakan penyadapan tersebut, batasannya adalah sepanjang dilakukan untuk mendapatkan infornlasi sebagai alat bukti tindak pidana dan sepanjang guna kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi dan bukan untuk kepentingan lain, yaitu semata-mata dilakukan untrrk kepentingan tugas clan kewajibannya selaku Penyidik Tindak Pidana Korupsi. Dan tindakannya itu dapat dipertangglrng jawabkan menurut hukurn yang bertanggung jawab.
Keberadaan KPK dengan wewenangnya dalam melakukan penyadapan sama sekali tak melanggar UUD 1945 dan HAM. lembaga ini dibentuk karena pemberantasan korupsi selama ini dirasa kurang optimal dan intensif. Sebagai lembaga penting, KPK pantas diberi wewenang-wewenang khusus. Sebut misalnya penyadapan.
Prof. Komariah menambahkan bahwa penyadapan yang dilakukan penyidik KPK tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). (8) Kewenangan semacam itu diberikan karena korupsi sudah merupakan kejahatan yang memerlukan penanganan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam beberapa hal, pemberantasan extra ordinary crime seperti korupsi bisa lahir kewenangan yang kuat. Komariah mencontohkan penyiksaan dalam kasus terorisme yang dalam batas-batas tertentu sudah diterima PBB.



8. Penyadapan oleh KPK, Artikel Hukum .com 2007
Bab IV
4. BATASAN PENYADAPAN OLEH KPK

Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyadap alat komunikasi dan merekam pembicaraan sesuai Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, terhadap seseorang perlu diatur lebih lanjut secara baku.
"UU 30 tahun 2002 memang memberi ruang bagi KPK boleh melakukan penyadapan, tetapi itu harus yang terkait dugaan tindak pidana korupsi. Tetapi tidak cukup begitu saja, harus ada prosedur baku untuk penyadapan.
Sesuai Pasal 12 ayat 1 (a) UU KPK, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, posisi KPK berada di bawah presiden. Dan itu sangat memungkinkan kepentingan pemerintah mengintervensi KPK dengan wewenangnya yang besar. Terutama dalam keingintahuan pemerintah terhadap konsep-konsep politik lawannya.
"Karena itu, dalam aturan pelaksanaan nantinya, KPK harus dengan tegas dibatasi kewenangannya menyadap terhadap kegiatan politik," .KPK juga diminta bertindak profesional. Sebagai penyidik haruslah melakukan penyadapan dengan lebih dulu memiliki bukti awal yang kuat. Yang perlu ditegaskan, areal KPK hanya masuk wilayah dugaan hukum korupsi, bukan politik. KPK tidak boleh masuk wilayah politik, terutama terhadap politikus yang sedang membahas konsep-konsep rencana kerja dalam lingkup politik, juga terhadap anggota DPR. "Kecuali penyadapan terhadap anggota dewan yang memiliki indikasi dengan bukti awal dugaan korupsi yang kuat.’ jika wewenang yang dimiliki KPK dilakukan untuk kepentingan kelompok politik tertentu, atau dibayar oleh oknum, hal itu harus diberi ganjaran berupa sanksi maksimal.
"KPK tidak boleh bermain politis dan kekuasaan. Wewenang itu hanya untuk kepentingan penanganan kasus korupsi, bukan yang lain,"
Sebenarnya wewenang penyadapan merupakan hal biasa. Di sejumlah negara, seperti Inggris, dan AS, pemerintahnya berhak menyadap pembicaraan warganya. Tetapi hal itu dilakukan untuk melindungi warganya. "Tetapi kalau di sini, ada pejabat pemerintah atau anggota dewan yang merasa keberatan HP disadap, justru dia yang harus dicurigai.
Menurut penulis alat telekomuniksi bukan sebuah privacy. Melainkan sarana publik. Apapun teknologinya, kalau menggunakan jalur publik radio telekomunikasi, berarti tidak ada privacy. Semuanya bisa disadap. "Jika ingin pembicaraan tidak diketahui, jangan menggunakan jalur publik, tetapi ketemu langsung tatap muka..
Selain itu, tidak ada kewajiban operator telekomunikasi yang melakukan perlindungan terhadap pelanggannya apalagi pelanggannya melakukan tindakan negatif.
Namun, tindakan penyadapan harus ada batasan yang jelas agar tidak terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan, red.). Tindakan penyadapan, lanjutnya, harus didasari pada adanya indikasi awal tindak pidana.
Seharusnya tidak perlu ‘alergi’ terhadap penyadapan selama mereka tidak terlibat tindak pidana. penyadapan oleh KPK bukanlah tindakan main-main, tetapi dalam rangka penegakan hukum. “Lagipula, penyadapan dilakukan KPK kan juga ada aturannya, tidak sembarangan saja. Ada teknis operasionalnya,” .
Penyadapan dalam koridor penegakan hukum, terlepas ada atau tidaknya indikasi awal tindak pidana, dapat dilakukan oleh aparat yang berwenang. “Tetapi kalau ternyata ada penyalagunaan, (aparat penegak hukum, harus disikat seberat-beratnya,” . intinya penyadapan dapat dilakukan selama untuk kepentingan penyidikan / proses hukum, diluar hal tersebut penyadapan tidak dapat dibenarkan.(9)
9. Hukum dan teknologi, Boy Suryo, pakar Telemetika , Artikel Hukum Universitas Gajah Mada 2007

5. KESIMPULAN.

Dari penulisan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Selama dalam koridor penegakan hukum dan guna penyidikan tindak Pidana korupsi KPK berwewenang melakukan penyadapan, hal tersebut telah dikuatkan dengan putusan MK
b. Adanya beberapa per undang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang KPK khususnya masalah penyadapan, namun penyadapan tetap dapat dilaksanakan selama bertujuan guna kepentingan penyidikan. Selain itu undang-undang tersebut bertujuan guna melindungi kepentingan perseorangan, sedangkan penyidikan melalui penyadapan adalah guna kepentingan publik/ umum sehingga sejalan dengan cita-cita hukum dimana kepentingan umum berada diatas kepentingan publik.
c. Terdapat batasan-batasan kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan yaitu: penyadapan hanya dapat dilaksanakan dalam kapasitas kepentingan penyidikan, diluar kapasitas guna penyidikan, penyadapan adalah ilegal.
d. Korupsi merupakan kejahatan yang cukup sulit guna menjerat para pelakunya, dimana cara-cara konvensional dianggap ketinggalan guna mengumpulkan barang bukti, sehingga diperlukan metode baru (penyadapan) guna dapat menjerat para pelaku korupsi tersebut, selain itu korupsi merupakan tindak pidana yang dianggap luar biasa, sehingga penanganannya juga harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula, khususnya dalam melaksanakan penyidikan .

Daftar Pustaka

1. Hukum sebagai Panglima, Universitas Sriwijaya 2007
2. Filsafat Hukum dan perkembangannya di Indonesia, artikel internet, Hukum.com 2007
3. Kewenangan KPK dalam penyadapan, Hukum .com 2007
4. Penyadapan KPK, Cairul Huda, Hukum .com
5. Ham dan Undang-undang no.39 th.1999. Hukum.com
6. Koran tempo, kutipan wawancara Panda Nababan, anggota DPR RI.
7. Perkembangan HAM dalam Hukum Nasional, Suhandana, SH, MH 2006
8. Penyadapan oleh KPK, Artikel hukum.com 2007
9. Hukum dan teknologi, Roy Suryo pakar telematika 2007

“ PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRAKTEK PROSTITUSI

1.LATAR BELAKANG

Kehidupan kota metropolitan yang serba modern yang sarat dengan pengaruh kemajuan teknologi yang sangat pesat,ditambah lagi dengan minimnya kesadaran akan norma-norma agama dan norma-norma hukum menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, seperti bergesernya nilai-nilai sosial yang dahulu dianggap sakral oleh sebagian besar orang, seperti kehidupan malam, sex pra nikah, pergaulan bebas dan lain-lain. Adanya pergeseran nilai-nilai sosial tersebut dianggap suatu hal yang wajar bagi sebagian besar masyarakat di metropolitan, sehingga timbul sikap acuh, tidak perduli dengan adanya penyimpangan sosial berupa praktek prostitusi di lingkungan masyarakat metropolitan, dan aparat pun akhirnya kurang memperhatikan dan tegas dalam menangani penyimpangan sosial yang satu ini.
Selain hal diatas adanya Krisis ekonomi, masalah urbanisasi dan kenaikan berbagai kebutuhan pokok belakangan ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas, baik masyarakat yang tinggal di perdesaan terlebih lagi masyarakat yang tinggal di metropolitan Jakarta. Dimana guna memenuhi kebutuhan hidupnya tak sedikit terdapat beberapa golongan masyarakat tertentu yang melakukan praktek-praktek penyimpangan norma agama, norma kesusilaan , dan pelanggaran hukum seperti melakukan praktek prostitusi maupun menyediakan tempat / sarana praktek prostitusi guna memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya.
Selain factor – factor diatas, Lemahnya penegakan hukum, adaya kolusi antara aparat dan pengelola tempat prostitusi, serta adanya dukungan dari masyarakat sekitar tempat prostitusi turut serta menambah subur bisnis prostitusi khususnya dikota-kota besar seperti di kota metropolitan Jakarta.
Fenomena praktek prostitusi di kota besar seperti metropolitan jakarta dapat dikatakan berbeda dari tempat lainnya. Umumnya di tempat lain/ daerah lain (selain kota-kota besar seperti Jakarta) pelaku bisnis prostitusi melakukan melakukan praktek bisnisnya secara sembunyi-sembunyi/ terselubung atau paling tidak lokasi tempat prostitusi berada jauh dari keramaian / pusat kota, hal tersebut guna menghindari akses yang mungkin timbul dari adanya penolakan dari masyarakat maupun adanya penertiban/ tindakan hukum dari aparat.
Sedangkan Praktek prostitusi di metropolitan jakarta terdapat fenomena yang lain yaitu bisnis praktek prostitusi dilakukan secara terang-terangan/ terbuka, seolah-olah para pebisnis praktek prostitusi tidak takut akan adanya penertiban/ tindakan hukum oleh aparat, Bahkan terdapat beberapa lokasi prostitusi berada di pusat kota/ pusat bisnis ibukota dan secara terang-terangan melakukan praktek prostitusi tersebut. Fenomena inilah yang salah satunya ingin diuraikan oleh penulis.
Dari kacamata penulis, belum dilihat adanya langkah-langkah kongkrit dan serius dari pihak-pihak yang terkait khususnya aparat penegak hukum untuk melakukan semacam bentuk penanggulangan ataupun tindakan hukum guna menekan praktek prostitusi tersebut bahkan dimungkinkan telah terjadinya kolusi antara aparat dan pengelola bisnis prostitusi khususnya di kota metropolitan jakarta.
Dari uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian dan dituangkan melalui penulisan tentang penegakan hukum dan peran aparat penegak hukum terkait masalah prostitusi khususnya di kota metropolitan jakarta mengingat adanya pembiaran dari pihak aparat terhadap praktek prostitus tersebut.
2. PERMASALAHAN
Dari latar belakang penulisan diatas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu; kesulitan penegakan hukum, terkait masalah praktek prostitusi khususnya di kota jakarta dengan memperhatikan aspek masyarakat maupun aspek aparat penegak hukum itu sendiri (aspek sosiologis)
Atas permasalahan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk mengangakat tema dalam permasalahan diatas guna dijadikan sebuah penulisan ilmiah untuk dibahas dan menemukan jawaban atas permasalahan tadi.
3. PEMBAHASAN
3.1 LOKASI TEMPAT PROSTITUSI DI JAKARTA
Dari pengamatan penulis dan dari kajian kepustakaan dari Skripsi ”Praktek Pelacuran dan Prostitusi sebagai sebuah Penyimpangan sosial” maka didapat data-data tentang beberapa tempat praktek prostitusi yang beroprasi di jakarta. Adapun tempat-tempat tersebut antara lain adalah:
a. Daerah sepanjang jalan Hayam Wuruk (Daerah Kota), biasanya praktek prostitusi dilakukan dengan berkedok sebagai tempat panti pijat atau club eksotis.
b. Daerah sepanjang jalan Gajah Mada (Daerah Kota), , biasanya praktek prostitusi dilakukan dengan berkedok sebagai tempat hiburan malam yang juga menyediakan tempat utuk melakukan praktek pelacuran tersebut.
c. Daerah sepanjang jalan Saman hadi, biasanya praktek prostitusi dilakukan dengan berkedok sebagai tempat panti pijat atau club eksotis.
d. Daerah pandemangan , biasanya prostitusi dilakukan dengan berkedok sebagai tempat panti pijat atau club eksotis.
e. Selain data- diatas tentang tempat praktek prostitusi di Jakarta diatas, masih banyak lagi tempat-tempat/ daerah-daerah yang dijadikan tempat praktek prostitusi di Jakarta.seperti di daerah Penjaringan, daerah Blok M, majestic, dll.
3.2 SANGKSI PIDANA DAN MASALAH PENEGAKAN HUKUMNYA.
Seperti kita ketahui bersama, praktek/ bisnis prostitusi di kota metropolitan seperti jakarta di lokasi-lokasi tertentu, sekarang ini sudah secara gamblang/ terang-terangan beroprasi ditengah-tengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku praktek prostitusi seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan hukum oleh aparat, maupun adanya reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek prostitusi tersebut.
Sanksi pidana dalam hukum positif di indonesia yang mengatur tentang para pelaku pebisnis praktek prostitusi secara jelas dan tegas termuat dalam pasal Pasal 506 KUHP yaitu yang berbunyi : ”barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam hukuman paling lama satu tahun” . artinya unsur-unsur perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan menjalankan bisnis praktek prostitusi (mucikari/ germo/ mami) secara jelas dan tegas sudah seharusnya dapat terjaring delik pidana sebagai mana pasal 506 KUHP tersebut, namun pada kenyataannya praktek tempat pelacuran / prostitusi tetap saja marak dan tumbuh subur terutama dikota-kota metropolitan seperti Jakarta.
Sedangkan untuk pelaku praktek prostitusi ( para wanita PSK) dapat terjaring dengan Perda DKI yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988 , dalam ketentuan pasal 27 dan 28 tentang sanksi hukuman yang “melarang bagi siapa saja berbuat asusila dimasyarakat”, sanksi yang dikenakan adalah hukuman selama 3 (tiga) atau 6 (enam) bulan. Namun ironisnya para Wanita pekerja Seks Komersial (PSK) tersebut tetap saja dapat menjalankan Profesinya tampa adanya penindakan dari pihak-pihak terkait, walaupun secara jelas dapat diketahui bahwa para PSK tersebut telah melakukan Unsur-unsur perbuatan yang masuk dalam ketentuan Perda tersebut.
Menurut teori hukum dari ,Prof. DR. Soejono Soekamto SH, MA, dalam penegakan hukum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil/ tidaknya penegakan hukum Itu sendiri yaitu:

1. Faktor hukum yang ditegakkan itu sendiri.
2. Faktor petugas, yaitu aparatur penegak hukumnya.
3. Faktor masyarakat dimana hukum itu berada.
4. Faktor kebudayaan.

Berkaitan teori / konsep hukum diatas, penulis tertarik untuk membahas dalam tulisan ini tentang teori hukum tersebut dengan keadaan empiris yang ada dimasyarakat , terutama factor petugas dan factor masyarakat yang dinilai penulis sangat mempengaruhi sulitnya penegakan hukum terkait dengan judul dari penulisan ini.
Mengapa penulis menilai factor petugas dan factor masyarakat sangat berperan dalam mempengaruhi sulitnya penegakan hukum terkait khususnya menyangkut praktek Prostitusi? Adapun alasan penulis adalah; bila dilihat dari factor hukum dan factor kebudayaan sebagimana teori hukum tersebut, dari sudut pandang hukum / factor Hukum, kepastian akan adanya hukum positif yang mengatur tentang praktek prostitusi dan sangksi pidananya telah jelas dan tegas sebagai mana tercantum dalam pasal Pasal 506 KUHP dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988,sehingga seharusnya factor hukum tidak dapat dijadika sebagai alasan yang dapat menghambat penindakan terhadap praktek prostitusi tersebut. sedangkan dari sudut pandang factor kebudayaan, budaya dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya tidak ada yang menghalalkan terjadinya praktek prostitusi tersebut, sehingga factor kebudayaan tidak dapat dijadikan sebagai argumen sebagai factor yang mempengaruhi sulitnya penegakan hukum khususnya menyangkut praktek Prostitusi.
Sulitnaya penegakan hukum dalam masalah prostitusi di Jakarta, menurut penulis dengan melihat teori hukum Prof. DR. Soejono Soekamto SH, MA, tersebut adalah lebih dikarenakan oleh factor petugas penegak hukum itu sendiri dan masyarakat sekitarnya. Mengapa demikian? Hal inilah yang akan dicoba untuk dikupas dalam penulisan ini.
1. Factor Petugas.
Dari kacamata penulis ditambah dengan data-data yang didapat oleh penulis tentang prostitusi dijakarta, tumbuh suburnya praktek prostitusi di jakarta adalah karena adanya beking/ perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap lokasi prostitusi tersebut sehingga seolah-olah pelaku bisnis haram tersebut kebal akan hukum, disamping itu, adanya kolusi (setoran uang secara rutin) dari para pelaku bisnis prostitusi di jakarta terhadap aparat hukum, mulai dari petugas lapangan, kapolsek, dinas pol PP, dll sampai jenjang diatasnya turut memperburam penegakan hukum terhadap bisnis pelacuran tersebut. Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Factor petugas sangat berperan besar dalam menentukan berhasil / tidaknya penegakan hukum di bidang praktek prostitusi tersebut.
2. Factor Masyarakat
Sikap acuh dari sebagian masyarakat jakarta terhadap adanya praktek prostitusi disekitar lingkungannya sangat berperan dalam berkembangnya praktek prostitusi tersebut, hal tersebut dikarnakan tidak adanya penolakan / gejolak menentang dari masyarakat terhadap bisnis pelacuran, diterjemahkan oleh para pebisnis praktek asusila tersebut sebagai suatu restu dari masyarakat sekitar tempat prostitusi atas boleh beroprasinya bisnis haram tersebut. Selain hal diatas, terdapat beberapa kelompok masyarakat disekitar tempat prostitusi tersebut yang mendukung adanya bisnis praktek prostitusi tersebut berada di daerahnya, hal tersebut dikarnakan para kelompok masyarakat tersebut merasa diuntungkan dengan adanya bisnis haram tersebut, dimana bila dilihat secara empiris, dengan adanya praktek prostitusi di suatu lokasi, maka keadaan roda ekonomi masyarakat sekitar lokasi tersebut lebih berjalan secara dinamis,karena banyak masyarakat yang mengambil kesempatan dengan mengais rejeki / bermata pencaharian (membuka warung, jual rokok, menjadi tukang parkir, atau bekerja di tempat prostitusi sebagai petugas kebersihan, dll) di tempat lokasi bisnis prostitusi tersebut. Sehingga secara umum masyarakat sekitar tempat lokasi praktek prostitusi tersebut merasa diuntungkan dengan adanya praktek prostitusi tersebut diwilayahnya, sehingga penerapan hukum positif akan sulit dipaksakan dikarnakan dimungkinkannya terjadinya penolakan dari masyarakat yang merasa diuntungkan dari praktek prostitusi tersebut atas diberlakukannya penerapan hukum tersebut.

3.3 PROSTITUSI DILIHAT DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGI.
Menurut teori sosiologi, yang dikemukakan oleh Prof,Dr Rony Nitibaskara, tentang konsep bahwa ” setiap kejahatan / prilaku penyimpangan mempunyai fungsi/tugas dalam masyarakat dimana salah satu fungsinya adalah sebagai alat Penyeimbang”
Maksudnya dalam setiap perbuatan kejahatan selain ada pihak yang dirugikan , terdapat pula pihak-pihak yang diuntungkan dengan adanya kejahatan tersebut. Berkaitan dengan penulisan ini penulis mencoba memberikan contoh kongkrit dari teori sosiologi diatas dikaitkan dengan praktek bisnis prostitusi.
Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf terdahulu,praktek prostitusi memang sangat bertentangan dengan norma-norma normatif dan norma-norma agama, namun terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan dengan adanya praktek prostitusi tersebut, yaitu masyarakat yang berdomisili sekitar lokasi praktek prostitusi tersebut yang mancari mata pencaharian disekitar lokasi pelacuran tersebut. Selain kelompok masyarakat tersebut terdapat juga oknum-oknum petugas hukum yang mendapatkan keuntungan dengan adanya kolusi (setoran uang rutin sehingga mendapatkan uang setoran) dari para pelaku bisnis prostitusi dengan kesepakatan bahwa praktek bisnis prostitusi yang dikelolanya terbebas dari tindakan-tindakan hukum.
4. KESIMPULAN
Penegakan hukum atas praktek prostitusi akan sulit dilaksanakan hal tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Sepanjang masih adanya kolusi antar aparat dan pelaku bisnis prostitusi, sehingga penegakan Hukum terhadap Praktek prostitusi tersebut akan sangat sulit dilaksanakan.
2. Reaksi masyarakat yang Acuh terhadap praktek prostitusi tersebut dan Selama tidak adanya reaksi sosial / reaksi Masyarakat yang menolak keberadaan tempat pelacuran tersebut, malah hal yang terjadi adalah sebaliknya yaitu adanya reaksi masyarakat yang merasa diuntungkan atas adanya prostitusi .

5. PENUTUP
Demikianlah penulisan tentang sosiologi hukum ini, dimana penulis mengambil konsep / teori hukum dari Prof. DR. Soejono Soekamto SH, MA, dan Prof DR Rony Nitibaskara ,semoga penulisan ini dapat diterima dan dikoreksi guna penyempurnaan penulisan ini.